Trending

Kesehatan Tanah Untuk Keberlanjutan Ekosistem - Beritaja

Sedang Trending 3 hari yang lalu

Jakarta (BERITAJA) - Perbincangan publik terhadap kesehatan tanah alias soil health di beragam bagian bumi termasuk di Indonesia sedang meningkat.

Saat ini istilah kesehatan tanah dipergunakan oleh para intelektual dan masyarakat awam untuk menghargai dan memahami pentingnya tanah bagi kehidupan manusia.

Sebelumnya, istilah yang juga terkenal adalah ‘tanah miskin’, ‘tanah lelah’, ‘tanah sakit’. Istilah ini dipergunakan untuk menggambarkan kondisi tanah yang kekurangan nutrisi dan tidak mampu menunjang pertumbuhan tanaman.

Di Indonesia juga sering terungkap istilah-istilah ‘penzaliman tanah' untuk menggambarkan degradasi tanah akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.

Tanah memang sumber kehidupan di bumi ini. Beberapa masyarakat lokal apalagi mengakui tanah sebagai ‘ibu’ yang memberi kehidupan.

Umumnya bumi modern yang awam hanya mengenal tanah sebagai tempat bercocok tanam.

Namun, sesungguhnya tanah bukan hanya menunjang pertumbuhan tanaman, tapi dapat menyerap dan menyaring air, menyediakan nutrisi, kediaman dari beragam hewan dan flora, serta berkedudukan juga dalam menentukan suasana global.

Dengan demikian, tanah yang terdegradasi bukan hanya merugikan sektor pertanian lantaran menurunkan produktivitas.

Tanah yang terdegradasi juga berakibat negatif terhadap penyediaan air bersih, keanekaragaman hayati, dan apalagi berkontribusi terhadap perubahan suasana lantaran kemampuannya menyerap karbon dioksida (CO₂) serta udara berkurang.


Tanah sehat

Meskipun istilah ‘tanah sehat’ semakin populer, tetap banyak perdebatan mengenai makna sebenarnya dari "tanah sehat".

Pada tahun 1980-an, konsentrasi utama para peneliti dan akademisi tanah adalah pada kesuburan tanah ialah keahlian tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman.

Pada 1990-an muncul istilah kualitas tanah (soil quality) yang menekankan pada kegunaan tanah secara keseluruhan, termasuk keahlian tanah mendukung produksi tanaman.

Baru berikutnya, sejak 2010-an, istilah kesehatan tanah mulai dipergunakan secara lebih luas. Namun, apakah ini hanya sekadar “ganti casing” alias penggantian istilah dengan makna yang sama?

Kata “sehat” lebih mudah dipahami oleh masyarakat umum maupun kreator kebijakan. Istilah ini juga dapat dikaitkan dengan kesehatan tanaman dan kesehatan manusia.

Dengan menggunakan kata ‘sehat’, tanah diposisikan sebagai sistem yang hidup, bukan sekadar barang mati, tapi mempunyai dan mendukung kehidupan.

Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), kesehatan tanah adalah keahlian tanah untuk berfaedah sebagai sistem hidup dalam pemisah ekosistem dan penggunaan lahan, guna mendukung produktivitas tanaman dan hewan, menjaga alias meningkatkan kualitas air dan udara, serta mendukung kesehatan tanaman dan hewan.

Definisi ini menegaskan bahwa tanah adalah ekosistem hidup yang mempunyai beragam kegunaan penting, tidak hanya untuk pertanian.


Ciri tanah sehat

Jika ditanya apa ciri-ciri tanah sehat, mahir pertanian biasanya menjawab bahwa tanah sehat mempunyai bahan organik yang tinggi, hewan tanah yang banyak, dengan tekstur lempung, pH netral (tidak terlalu masam alias basa), tidak mengandung unsur beracun, serta keahlian serapan hara yang baik.

Namun, mari mengambil contoh tanah di Sumatera Selatan yang tetap berupa rimba alami.

Tanah ini berasal dari batuan endapan tua yang sudah banyak mengalami pelapukan. Warnanya merah, pH-nya asam, kadar liatnya tinggi, namun daya serap haranya rendah.

Menurut kriteria di atas, tanah ini mampu dibilang tidak sehat. Namun kenyataannya, tanah ini mendukung rimba tropis yang lebat dan subur.

Contoh lain adalah tanah sulfat masam di pesisir Kalimantan Barat, yang kaya dengan mineral pirit (FeS₂) dan tergenang air.

Tanah ini merupakan kediaman alami rimba bakau alias mangrove. Jika dikeringkan, pirit bakal teroksidasi dan menyebabkan tanah menjadi sangat masam dan beracun.

Apakah tanah ini tidak sehat? Berdasarkan arti FAO, selama tanah tersebut mendukung ekosistem alaminya, maka dia tetap sehat.

Hal ini menunjukkan bahwa kriteria kesehatan tanah tidak dapat disamakan dengan kesuburan tanah semata, lantaran kesuburan lebih menekankan pada produktivitas pertanian.


Tantangan mengelola

Pandangan masyarakat tentang kesehatan tanah tetap sering keliru. Banyak yang menganggap bahwa penggunaan pupuk sintetis secara terus-menerus adalah penyebab utama tanah menjadi tidak sehat.

Padahal, pertanian adalah proses yang mengekstraksi unsur hara dari tanah dengan panen. Oleh lantaran itu, unsur hara seperti nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) perlu dikembalikan agar produktivitas mampu berlanjut.

Tanaman tidak menyerap bahan organik, melainkan unsur hara yang terkandung di dalamnya.

Memang betul, banyak tanah telah lenyap dikuras dengan pertanian terus menerus, sehingga bahan organik rendah dan rentan erosi.

Banyak pengolahan lahan yang dapat diterapkan untuk mencegahnya seperti pertanian sistem tanpa olah tanah, agroforestry, dan penanaman penutup tanah.

Kegagalan sering terjadi ketika pembukaan lahan tidak mempertimbangkan kapabilitas dan karakter tanah.

Misalnya, tanah rawa di Kalimantan, yang secara alami mengandung mineral pirit, bukan tidak sehat, melainkan memang tidak cocok untuk budi daya tanaman pangan dan hortikultura lantaran ketika dikeringkan segera teroksidasi menjadi tanah sulfat masam.

Upaya untuk "menyehatkan" tanah-tanah seperti itu dengan bahan organik, biochar, alias kapur acapkali tidak berkepanjangan dalam jangka panjang.

Contoh nyata adalah proyek food estate di Humbang Hasundutan yang kandas lantaran tanahnya mempunyai kemasaman tinggi dan daya serap hara yang rendah, sehingga tidak mendukung tanaman hortikultura.

Penggunaan lahan secara berkepanjangan berfaedah tanah dipergunakan sesuai dengan kapabilitas alaminya.

Tanah yang tidak cocok untuk pertanian sebaiknya difungsikan untuk jasa ekosistem lain seperti rimba penyangga karbon, pelindung keanekaragaman hayati, dan penyaring air alami.

Sehingga konsep Kesehatan tanah tetap perlu diperjelas, Kesehatan tersebut untuk siapa? Karena konsep yang menyamakan kesehatan dengan manusia, maka banyak persepsi lebih condong menyebut tanah subur adalah tanah sehat.

Tanah di Pulau Jawa relatif subur lantaran mendapat limpahan abu vulkanik. Sebaliknya, tanah di wilayah lain yang tidak terpengaruh aktivitas vulkanik condong tidak subur lantaran pelapukan dan pencucian alami yang berjalan lama. Namun, perihal ini tidak berfaedah tanah tersebut tidak sehat.

Konsep kesehatan tanah telah menumbuhkan kepedulian dan rasa mau merawat tanah. Namun, konsentrasi pada kesehatan tanah tidak dapat melangkah tanpa ada kemauan, pendidikan, dan peraturan yang menjaga kesinambungan tanah.

Agar tanah dapat betul-betul dapat dijaga dan dilindungi, sangat krusial untuk mengintegrasikan konsep kesehatan tanah ke dalam kerangka kerja yang lebih luas, ialah ketahanan tanah (soil security).

Soil security berfaedah pemeliharaan dan peningkatan sumber daya tanah sehingga dapat menghasilkan pangan, air, dan keragaman hayati, berkontribusi pada keberlanjutan ekosistem.

Pada konteks tersebut, kesehatan tanah merupakan kondisi tanah yang dapat mendukung soil security untuk keberlanjutan ekosistem termasuk kehidupan manusia di atasnya.


*) Penulis adalah Profesor Ilmu Tanah dan Lingkungan Sydney University.

Copyright © BERITAJA 2025




anda berada diakhir artikel berita dengan judul:

"Kesehatan Tanah Untuk Keberlanjutan Ekosistem - Beritaja"






Silakan baca konten menarik lainnya dari Beritaja.com di Google News dan Whatsapp Channel!