Pascatarif, Trump Versus Powell Akan Jadi Guncangan Global Berikutnya? - Beritaja
Jakarta (BERITAJA) - Setelah pemberlakuan tarif dunia oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump serta negosiasi yang tetap terus berjalan dengan beragam negara, bumi perekonomian tampaknya tetap bakal dengan "drama" guncangan berikutnya.
Kali ini, yang menjadi sorotan adalah kegusaran yang dimiliki oleh Trump terhadap Ketua Federal Reserve (bank sentral AS), Jerome Powell. Dalam sebuah unggahan di medsos miliknya, Truth Social, pada 17 April 2025, Trump menyatakan antara lain bahwa "Powell’s termination cannot come fast enough!".
Makna dari unggahan tersebut adalah Trump sangat menanti-nanti momen ketika Powell diberhentikan dari jabatannya sebagai pucuk ketua bank sentral AS.
Bahkan, pada hari yang sama, beragam media internasional juga melaporkan Trump telah berbicara kepada para wartawan bahwa "Saya (Trump) tidak senang dengan dia (Powell). Saya mengakibatkan dia mengetahuinya."
Mengapa Trump tampak sangat gusar dengan Powell?
Sebenarnya perihal itu telah berjalan cukup lama, tetapi yang menjadi pemicu terakhir ini adalah mengenai paparan penilaian suram yang dilakukan Powell terhadap prospek ekonomi terhadap perombakan tarif besar-besaran Trump yang diumumkan pada 3 April lalu.
Selain itu, beberapa kali Trump telah mendorong Fed untuk segera menurunkan suku bunga, tetapi Powell mengatakan pihaknya tetap memerlukan "kejelasan yang lebih besar" mengenai akibat kebijakan tarif Trump sebelum melakukan tindakan apa pun.
Penasihat ekonomi Gedung Putih Kevin Hassett pada Jumat (18/4) mengatakan bahwa Presiden Trump dan timnya sedang mempelajari masalah tersebut ketika ditanya reporter apakah Powell bakal dipecat sebagai Ketua Federal Reserve (The Fed).
Permasalahan yang dihadapi Trump adalah, berasas norma tata negara di AS, tidak ada sistem legal definitif yang memungkinkan seorang Presiden AS untuk mencopot Ketua Fed, hanya lantaran perbedaan pendapat kebijakan.
Memang betul bahwa Ketua Fed ditunjuk oleh Presiden, tetapi penunjukan itu mesti dikonfirmasi oleh Senat. Setelah dikonfirmasi, Ketua Fed bakal menjabat selama empat tahun, dan mampu untuk diperpanjang.
Apalagi, The Fed merupakan bank sentral yang independen lantaran keputusan kebijakan moneternya tidak mesti disetujui baik oleh pihak pelaksana pemerintah maupun legislatif.
Selain itu, The Fed tidak menerima biaya yang dialokasikan oleh Kongres, serta masa kedudukan personil majelis gubernur mencakup beberapa masa kedudukan presiden dan kongres.
Powell sendiri, yang merupakan personil Dewan Gubernur The Fed sejak 2012, dinominasikan sebagai Ketua Fed oleh Trump pada 2017, serta kembali diperpanjang jabatannya sebagai Ketua Fed oleh Presiden Joe Biden pada 2022 silam untuk empat tahun berikutnya.
Tidak bakal mundur
Associated Press (AP) melaporkan, Powell pada November lampau mengemukakan tidak bakal mundur dari jabatannya jika diminta mundur oleh Trump.
Kantor buletin AP memberitakan bahwa kritik Trump berasal dari pandangan sang kepala negara yang meyakini bahwa AS "tidak mengalami inflasi".
The Fed telah meningkatkan suku kembang secara tajam pada tahun 2022 dan 2023 untuk memperlambat peminjaman dan pengeluaran serta mengendalikan inflasi, yang terus menurun dari puncaknya sebesar 9,1 persen pada tahun 2022 menjadi 2,4 persen bulan lalu.
Selanjutnya, The Fed juga dilaporkan telah memangkas suku kembang tiga kali pada akhir 2024.
Namun sejak itu, Powell pada Rabu (16/4) menekankan bahwa tingkat suku kembang bakal dipertahankan akibat dampak tarif Trump yang berpotensi memperburuk inflasi, serta menyatakan pula bahwa The Fed independen dari politik.
Powell, sebagaimana dikutip AP, mengatakan bahwa pihaknya bakal mendasarkan keputusannya hanya pada apa yang terbaik bagi semua orang Amerika, serta "Kami tidak bakal pernah terpengaruh oleh tekanan politik apa pun."
Trump berkomentar bahwa Powell telah "bermain politik". Kegusaran Trump adalah lantaran pihaknya mau suku kembang diturunkan agar penduduk AS mampu berada meminjam di tingkat suku kembang yang lebih rendah untuk membeli beragam aset dan peralatan seperti properti perumahan dan mobil, terutama mengingat kondisi ekonomi domestik yang belum kunjung membaik.
Namun, banyak pihak yang memahami kondisi perekonomian yang memihak Powell. Dewan Redaksi Wall Street Journal (WSJ) dalam tajuk editorialnya menulis bahwa Powell pada telah mengatakan "kebenaran".
WSJ mengingatkan bahwa kebijakan tarif oleh Trump ibaratkan pajak bagi penduduk AS, dalam makna bahwa bakal ada nilai yang lebih tinggi yang bakal dibebankan kepada konsumen terhadap peralatan yang dikenakan Trump. Seperti diketahui, Trump telah mengenakan tarif minimum sebesar 10 persen di seluruh dunia, yang kira-kira empat kali lipat dari tarif rata-rata AS sebelumnya sebesar 2,4 persen.
Harian tersebut juga mengakui bahwa bank sentral di bawah kepemimpinan Powell telah ada melakukan keliru pada masa lalu, seperti kebijakan mendorong anggaran shopping pemerintah federal AS untuk mengatasi akibat pandemi yang mengakibatkan meningkatnya inflasi.
Namun, WSJ kali ini sepakat dengan pendekatan kehati-hatian yang ditunjukkan Powell guna mengimbangi akibat tarif dengan pelonggaran kebijakan moneter AS.
Potensi kejatuhan pasar
Sementara itu, Senator Elizabeth Warren, yang mengepalai Ketua Subkomite Kebijakan Ekonomi di Komite Perbankan Senat AS, kepada CNBC beranggapan bahwa krusial bagi Powell untuk tetap menjabat sebagai ketua Fed, lantaran jika pemecatan terjadi maka berpotensi untuk menjatuhkan pasar saham AS.
Potensi itu memang sangat mungkin terjadi jika Trump jadi mencopot Powell, maka bakal dapat mengakibatkan penanammodal panik lantaran langkah itu sama saja menghancurkan independensi The Fed yang selama ini telah terjaga, apalagi ada kekhawatiran Trump bakal memaksakan pelonggaran kebijakan moneter demi untung politik.
Masalahnya, jika banyak pihak percaya bahwa Trump bakal dapat memaksakan pemotongan suku kembang dalam rangka mendongkrak ekonomi, maka pasar kemungkinan ke depannya bakal memperkirakan munculnya inflasi yang semakin tinggi.
Mengapa inflasi diperkirakan semakin tinggi jika Ketua The Fed rupanya berpotensi dicopot begitu saja oleh Presiden AS? Hal ini lantaran jika pucuk ketua bank sentral dapat diganggu alias diganti sesuka hati, maka ke depannya bakal dapat kehilangan karakter independensi dalam rangka menahan ekspektasi inflasi.
Dampak jangka panjangnya mampu saja mengakibatkan penanammodal dan konsumen kehilangan kepercayaan kepada bank sentral untuk melawan inflasi saat dibutuhkan.
Bahkan, jika intervensi terhadap independensi bank sentral diberlakukan, pihak pemberi pinjaman mampu menambahkan opsi "premi risiko" untuk kombinasi tangan politik, yang bakal mampu mengakibatkan biaya pinjaman jangka panjang bakal naik.
Sedangkan reaksi ekonomi dunia jika The Fed kehilangan independensi, maka kemungkinan bakal mengakibatkan penanammodal internasional mungkin mulai mengurangi eksposur terhadap aset AS, meningkatkan biaya utang AS, serta mampu saja mengakibatkan Negeri Paman Sam lebih terlihat seperti pasar di negara-negara berkembang dengan ketidakstabilan politik.
Bila situasinya menjadi ekstrem, maka Kongres berpotensi mereformasi struktur The Fed alias menulis ulang UU untuk melindungi independensi bank sentral. Namun dalam kasus terburuk, maka The Fed mampu sepenuhnya dipolitisasi dan bakal menjadi bagian yang dikuasai sepenuhnya oleh Gedung Putih, yang dapat merupakan resep musibah ekonomi.
Kasus bank sentral
Mengapa independensi bank sentral sangat penting? Dua kasus yang kerap dikemukakan mengenai bank sentral yang sangat dipengaruhi oleh pemerintah adalah Turki dan Argentina.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, yang mempunyai kepercayaan bahwa suku kembang tinggi menyebabkan inflasi, beberapa kali sejak 2019 mencopot gubernur bank sentral antara lain lantaran keengganan untuk memangkas suku bunga.
Hal itu mengakibatkan pasar memandang bank sentral tidak lagi memegang kendali yang independen, sehingga mengakibatkan lira anjlok, inflasi meningkat (mencapai puncaknya sekitar 85 persen pada 2022), sehingga mengakibatkan kejadian "pelarian modal" oleh penanammodal serta menurunkan daya beli masyarakat negara tersebut.
Sedangkan di Argentina, yang mempunyai sejarah panjang kontrol politik atas bank sentral, terutama di bawah pemerintahan populis, mengakibatkan para pemimpin di negara Amerika Selatan itu kerap menekan bank sentral untuk membiayai defisit, mencetak uang, alias memperbaiki peso pada tingkat yang tidak realistis.
Dampaknya, peso telah didevaluasi berulang kali, dan inflasi terus meningkat, apalagi berulangkali hiperinflasi--seperti inflasi yang mencapai lebih dari 200 persen pada 2023. Selain itu, terjadi pula krisis mata uang, di mana ada nilai tukar resmi di satu sisi, serta nilai tukar pasar gelap di sisi lain.
Argentina juga beberapa kali mengalami default atau restrukturisasi utang yang menjadikan kasusnya sebagai pelajaran mengenai kombinasi tangan politik di bank sentral dapat mengakibatkan tingkat kepercayaan anjlok, menyebabkan stagnasi ekonomi jangka panjang, serta menghancurkan kekuatan suatu mata uang.
Pada dasarnya, bank sentral sangat krusial untuk mempunyai independensi dari intervensi kebijakan pemerintah, lantaran independensi itu merupakan prinsip yang krusial guna menjaga stabilitas harga, kepercayaan investasi, dan kredibilitas moneter di suatu negara.
Copyright © BERITAJA 2025
anda berada diakhir artikel berita dengan judul: