Trending

Semangat Bandung 1955 Dalam Tiupan Trumpisme - Beritaja

Sedang Trending 3 minggu yang lalu
Semangat Bandung juga relevan untuk menjadi penunjuk jalan di masa sekarang dan masa depan, terutama ketika bumi sempat kehilangan petunjuk akibat tiupan angin besar Trumpisme

Bandung (BERITAJA) - April 1955, bumi menyaksikan kejadian langka di Kota Bandung, ketika negara-negara yang biasanya hanya menjadi objek kolonial, tiba-tiba berkumpul, berdiskusi, dan berdeklarasi dalam forum berjudul Konferensi Asia Afrika (KAA).

Soekarno (Indonesia), Nehru (India), Nasser (Mesir), Zhou Enlai (Tiongkok), U Nu (Burma, sekarang Myannar), dan 24 pemimpin lain berkumpul di Gedung Merdeka. Mereka berbincang soal perdamaian, persamaan, kedaulatan, dan solidaritas.

Dengan kehadiran 29 negara, mewakili lebih dari separuh populasi dunia, saat itu, KAA adalah sebuah pernyataan bahwa bangsa-bangsa Asia dan Afrika tidak sudi lagi berdiam menjadi penonton sejarah.

“Hidup yang lebih baik hanya dapat diciptakan andaikan kita berani berbicara 'tidak' terhadap kolonialisme dalam segala bentuknya!” kata Presiden Sukarno, menggugah dunia, saat membuka konferensi.

Tepuk tangan membahana. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, negara-negara “pinggiran” berkumpul, bukan lantaran diundang oleh kekuatan besar, tapi lantaran didorong kemauan mengakibatkan bumi yang berbeda, bumi yang lebih setara dan setara.

Di bawah bayang-bayang perang dingin dan ketegangan antara blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan blok Timur yang dipimpin Uni Soviet, negara-negara baru merdeka itu berjanji untuk mengambil jalan mereka sendiri.

Mereka menandatangani 10 prinsip moral berjulukan Dasasila Bandung, semacam manual book untuk negara berkembang agar tidak menjadi budak kekuatan besar, yang, antara lain berisi prinsip-prinsip seperti “menghormati kedaulatan” , “hidup berdampingan secara damai”, dan “tidak ikut kombinasi urusan dalam negeri negara lain.”

Semangat Bandung 1955 pun memunculkan kekuatan ketiga, ialah suara negara-negara berkembang yang menolak dijadikan pion dalam permainan kekuasaan global. Mereka membahas nasib sendiri, menjalin solidaritas, dan menyemai bibit kerja sama.

Tidak lama kemudian, aktivitas Non-Blok terbentuk, membawa Semangat Bandung ke panggung bumi yang lebih kongkret. Bagi banyak negara yang tetap dijajah, Semangat Bandung pun menjadi obor untuk perjuangan kemerdekaan mereka. Sebuah bukti bahwa bumi mampu berubah jika suara-suara mini berasosiasi menjadi gema.

Dari Bandung ke Washington​​​​​​​​​​​​​​

Seiring berjalannya waktu, Semangat Bandung 1955 mesti berhadapan dengan realita geopolitik bumi yang penuh kontroversi.

Hampir tujuh dasawarsa setelah KAA, bumi kembali berada di persimpangan. Pemicunya datang dari Washington atas nama Donald J. Trump.

Saat naik podium Gedung Putih. Trump membawa filosofi America First yang kemudian mengarah pada kebijakan luar negeri yang proteksionis, sepihak, dan pragmatis ekstrem. Trump menarik AS dari Perjanjian Iklim Paris, WHO, UNESCO, serta menghantam multilateralisme lewat perang dagang.

Dari sana kemudian bergulir Trumpisme. Ini bukan ideologi, melainkan tidak lebih dari manifestasi mood seorang miliarder dengan rambut seambisius kebijakannya. Sederhananya, Trumpisme itu hanya mood marah-marah, mood mau diutamakan, alias mood "oke, jika Anda tak setuju, saya blok".

Trumpisme adalah antitesis dari Semangat Bandung 1955. Jika Semangat Bandung adalah tentang membangun jembatan penghubung, Trumpisme justru sibuk membangun tembok penghalang; Jika Bandung menyerukan saling menghormati, Trump menarik AS dari Perjanjian Iklim Paris, WHO, UNESCO; Jika Bandung mau menyatukan negara-negara selatan, Trump malah bikin perang jual beli dan "unfollow" Kanada.

Walau sekadar mood, Trumpisme mengakibatkan bumi yang selama puluhan tahun berjuntai pada kepemimpinan dunia AS menjadi limbung. Kepercayaan terhadap lembaga internasional luntur. Negara-negara berkembang menjadi bingung menyikapi dinamika kekuatan besar yang sekarang lebih tidak terprediksi.

Jika Trumpisme menjadi-jadi, ini bukan hanya penolakan terhadap globalisasi, tapi mampu menjadi isyarat bahwa era stabilitas pasca-Perang Dunia II sedang berada di ujung tanduk.

Kembali ke Bandung

Kota Bandung sekarang telah berubah, tetapi jejak sejarahnya tetap hidup. Gedung Merdeka tetap berdiri. Pilar-pilarnya kokoh, artefaknya terawat. Di sini, visitor tetap mampu memandang dan mendengar kisah Sukarno dan kawan-kawan merumuskan jalan ketiga.

Warisan KAA itu tentu bukan milik masa lampau yang hanya menjadi daya tarik turis. Semangat Bandung juga relevan untuk menjadi penunjuk jalan di masa sekarang dan masa depan, terutama ketika bumi sempat kehilangan petunjuk akibat tiupan angin besar Trumpisme.

Mungkin yang dibutuhkan sekarang bukan konvensi besar, seperti di tahun 1955, tapi menularkan kembali semangatnya untuk mengingatkan bumi bahwa kita pernah punya mimpi berbareng tentang bumi yang tidak didikte oleh kekuatan militer alias kekayaan ekonomi, tapi dibimbing oleh empati dan solidaritas.

Trumpisme membawa bumi ke petunjuk yang lebih gelap, tapi obor mini dari Bandung belum padam. Ia tetap menyala di Gedung Merdeka, di ruang-ruang diskusi, di negara-negara yang tertindas, di pikiran-pikiran yang menolak kalah pada logika Trump.

Bandung 1955 mengajarkan bahwa kebebasan memilih petunjuk politik adalah kewenangan setiap negara. Di era Trump, loyalitas geopolitik menjadi semakin cair, sehingga negara-negara berkembang dapat mengangkat pendekatan non-blok dengan jenis kekinian, ialah berkolaborasi strategis, tanpa mesti tunduk dan menundukkan.

Tentu, bumi sekarang jauh lebih kompleks. Ancaman bukan hanya militer alias ekonomi, tapi juga ketimpangan teknologi, krisis iklim, dan utang global. Namun, nilai yang diusung Bandung 1955 tetap relevan, bahwa kekuatan moral dan solidaritas mampu menjadi kekuatan politik.

Dalam bumi yang makin tidak pasti, nilai solidaritas, kedaulatan, dan keadilan internasional yang dulu disuarakan dari Bandung mampu menjadi penyeimbang. Barangkali, untuk melawan ketidaksopanan Trump, kita hanya butuh keberanian dan ingatan bahwa dulu kita di Bandung pernah kompak melawan ketimpangan.

Copyright © BERITAJA 2025




anda berada diakhir artikel berita dengan judul:

"Semangat Bandung 1955 Dalam Tiupan Trumpisme - Beritaja"






Silakan baca konten menarik lainnya dari Beritaja.com di Google News dan Whatsapp Channel!